PENEGAKAN HUKUM HAM DAN PELANGGARAN BERAT HAM DI INDONESIA
Monday, May 25, 2020
HAM DAN DEMOKRASI DI INDONESIA,
HAM DAN DEMOKRASI UNTUK PAPUA,
KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI PAPUA
Edit
PENULIS : M
Yus Buer
17. 021. 900. 42
Konsentrasi KhususPakar Hukum
Tata Negara,
Pasca Sarjana,
Univertas Kristen Indonesia
Jl. Diponegoro No. 84 - 86
Email : buer121myus@gmail.com
Abstract
Track record
of the importance
of upholding human
rights law in
Indonesian against various
cases of gross
human rights violations. Violence against
human rights in
Indonesia actually adds
a heavy burden
to the state,
due to government
policies that are
very controvercial, not
smart, irrational, and do not
comply with the
human rights law
procedures themselves. In this case,
the Indonesian government
must be mature
and aware of
the importence of
upholding human rights
law at this
modern hour, because
Indonesian has ratified
8 (eight) international
conventions on human
rights. Even the 1945 Constitution
was carried out 4 (four)
consecutive amandement in a very
short period of
time, which then
contained human rights
in chapter XA, from
articles 28A to
articles 28J. therefore, the
stateis given the
absolute obligation and
responsibility to protect
humn rights, respect
humun rights, and
fulfill human rights.
Therefore, the state
must act wisely
and be responsible
for various cases
of gross violations
of hhuman rights
thet continue to
be carried out
by the state
security apparatus, which is a construction
of the abuse
of state power
over human rights
itself.
Kata Kunci:
Tanggung Jawab Negara
Terhadap Pelanggaran Berat HAM
Pendauluhan
Pada dasarnya,
HAM di pandang
dari berbagai aspek.
Salah satunya adalah
aspek historis, untuk itu
sangat diperlukan pemahaman
akan sejarah HAM.
Dengan mempelajari sejarah
(history) HAM
akan dapat diketahui
hal-hal yang dapat
melatarbelakangi kemunculan dan
asal usul HAM
beserta segala aspek
yang relevan dengan
hal tersebut. Disamping
itu pula akan
dapat membantu untuk
memahami HAM sebagai
objek kajian yang
sangat dinamis.[1]
Lahirnya ide
tentang HAM ini
sesungguhnya tidak terlepas
dari konstruksional pemikiran
para pemikir besar
yang mempengaruhi kemunculannya maupun perkembangan
HAM yang kita
kenal pada saat
ini. Dengan mempelajari
berbagai teori HAM
yang ada sekarang,
paling tidak, akan
dapat kita ketahui
berbagai hal yang
bersifat elementeri mengenai
eksistensi dan sumber
HAM, kedudukan HAM
sebagai hak yang
berkaitan erat antara
HAM yang satu
dengan yang lainnya.
Persoalan yang juga
tidak kalah pentingnya
dalam mempelajari HAM
adalah menyangkut prinsip-prinsip dasar
yang melandasi hukum
HAM internasional. Menyangkut
mengenai konsep perkembangan HAM,
perlu dipelajari pula
hubungan antara hukum
HAM internasional dan
individu, serta masalah
universalisme dan partikularisme HAM
yang hingga kini
masih terus di
perbincangkan pada tataran
teoritis dan praktisi.[2]
Dalam hal
ini, perlu kita
mengetahui, bahwa sejarah
HAM sesungguhnya dapat
dikatakan hampir sama
tuanya dengan dunia. Mengapa
dikatakan demikian, karena
HAM pada dasarnya
memiliki sifat pelekat
(inherent) pada
diri setiap manusia,
sehingga eksistensinya tidak
dapat dipisahkan oleh
ruang dan waktu dari sejarah
panjang kehidupan umat
manusia. Berbagai upaya untuk
mewujudkan HAM dalam
kehidupan nyata dari
duluh hingga saat
sekarang ini, tercermin
dari manusia dalam
mempertahankan harkat dan
martabatnya dari tindakan
represit dan sewenang-wenang para
penguasa yang tiranisme. Timbulnya kesadaran
manusia akan pentingnya
HAM merupakan factor
sangat penting yang
melatarbelakangi dan melahirkan
gagasan yang kemudian
dikenal sebagai HAM.
Hak
asasi manusia (HAM)
adalah hak asasi
yang dapat dimiliki
oleh manusia yang
tidak bias diambil
atau dirampas oleh
siapapun termasuk negara
dan pemerintah. Sebab umat
manusia memiliki HAM karena diberikan
oleh negara, pemerintah
atau-pun berdasarkan hukum
positif, melainkan berdasarkan
harkat dan martabatnya
sejak lahir sebagai
manusia yang utuh
dan sempurna terhadap
hak asasinya. Dengan
demikian, faktor-faktor pembedaan
seperti ras, jenis kelamin,
agama, budaya, adat-istiadat, etnis,
warna kulit, rambut,
dan Bahasa, dapat
menegaskan eksistensi HAM
pada diri setiap
suku bangsa. Meskipun
demikian, beberapa pakar
menyatakan bahwa konsep
HAM yang sederhana
sampai kepada filsafat
Stoika di jaman
kuno lewat yurisprudensi
hukum kodrati (natural law)
Grotius dan “ius naturael”
dari Undang-Undang Romawi,
tampak jelas bahwa
asal usul konsep
HAM yang modern
dapat dijumpai di
dalam Revolusi Inggris,
Amerika Serikat, dan
Prancis pada abad
ke 17 dan
18.
Pada
konsep tersebut diatas, Hugo
de Groot seorang
ahli hukum Belanda
yang dinobatkan sebagai
Bapak hukum internasional
atau yang dikenal
dengan nama Latinya, Grotius, dapat
mengembangkan lebih lanjut
teori hukum kodrati
Aquinas dengan memutus
asal usulnya yang
teistik dan membuatnya
menjadi produk pemikiran
sekuler yang rasional. Dengan landasan
inilah kemudian, pada
perkembangan selanjutnya, salah
seorang kaum terpelajar
pasca Renaisans, John
Locke mengajukan pemikiran
mengenai teori hak-hak
kodrati. Gagasan John
Locke mengenai hak-hak
kodrati inilah yang
dapat melandasi munculnya
resolusi hak di dalam
resolusi yang meletup
di Inggris, Amerika Serikat, dan
Prancis pada abad
ke 17 dan
18.
Paham HAM dapat
lahir di Inggris
pada abad ke
17. Karena Inggris
memiliki tradisi perlawanan
yang lama terhadap
segala usaha Raja
untuk mengambil kekuasaan
mutlak (absolutism) Raja.
Sedangkan “Magna Carta
(1215)” sering keliruh
dianggap sebagai cikal
bakal kebebasan warga
negara Inggris. Piagam
ini sesungguhnya hanyalah
bentuk kompromi terhadap
pembagian kekuasaan antara
Raja John dan
para bangsawannya, dan
baru belakangan kata-kata
di dalam piagam
ini masuk dalam
konsep “Bill
of Rights” pada
tahun 1689, muncul
ketentuan-ketentuan baru untuk
melindungi hak-hak asasi
dan kebebasan individu.
Kemudian pada tahun
1979 dihasilkannya pernyataan
“Habeas Corpus”
yang merupakan sesbuah
dokumen tentang keberadaan
hukum bersejarah yang
dapat menetapkan bahwa
orang-orang yang ditahan
harus dihadapkan dalam
waktu tiga hari
kepada seorang hakim
dan diberitahu atas
tuduhan apa ia
ditahan. Pernyataan ini
merupakan dasar prinsip
hokum bahwa orang
hanya boleh ditahan
atas perintah hakim.[3]
Selanjutnya, “Bill
of Ringths” pada
tahun 1689 sebagaimana
diberikan dengan judulnya
yang cukup panjang
“Ac act
Declaring the Rights
and the Liberties
and the subject
and stting the
succession of the
Crown” (Akta Deklarasi
Hak dan Kebebasan
Kaula dan Tata
Cara Suksesi Raja),
yang merupakan hasil
perjungan parlemen melawan
pemerintahan kaum raja-raja
wangsa stuart yang
sewenang-wenangan pada abad
ke 17.
Sikap
perlawanan parlemen ini
disahkan setelah Raja
James II di
paksa turun dari
takhta dan William
II serta Mery
II naik ke
singgasana yang dapat
memunculkan “Resolusi gemilang”
(Glorious Resolution) pada
tahun 1688, karena
konsep “Bill of Rights”
menyatakan dirinya sebagai
deklarasi undang-undang yang
ada dan bukan
merupakan undang-undang baru,
yang menundukan pemerintahan
monarki di bawah
kekuasaan parlemen, dengan
menegaskan bahwa kekuasaan
Raja untuk membekukan
dan memberlakukan seperti
yang diklaim raja
adalah illegal. Perlu
dicacat pula bahwa
dengan adanya “Bill of
Rights” timbul kebebasan
untuk berbicara (speech) dan
berdebat (debate), sekalipun hanya
untuk anggota parlemen,
tetapi juga untuk
setiap individu pada
era modernisasi ini.
Berangkat
dari konsep tersebut
diatas, dunia masuk
dalam babak perkembangan
HAM secara internasional
setelah dunia mengalami
kehancuran luar biasa
akibat PD II.
Terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) secara mendesak
sebagai organisasi internasional
pada tahun 1945
yang tidak dapat
dipungkiri memiliki pengaruh
yang sangat besar
bagi pentingnya perkembangan
HAM dan kemajuan
HAM di seluruh
dunia. Hal ini
ditandai dengan adanya
pengakuan di dalam (United
Nations Charter) akan
pentingnya HAM dan
tujuan di dirikannya
PBB sendiri, yaitu
dalam rangka untuk
mendorong penghormatan tertinggi
terhadap HAM secara
internasional. Tonggakan
sejarah pengaturan HAM
yang bersifat internasional
(lintas dunia) dapat
dihasilakn tepatnya setelah
Majelis Umum PBB
mengesahkan Deklarasi Universal
HAM (Universal Declration of
human Rights / UDHR)
pada tanggal 10
Desember tahun 1948.
Deklarasi ini merupakan
dokumen internasional sangat
penting dan pertama
yang di dalamnya
terdapat katalog HAM
yang dibuat berdasarkan
kesepakatan internasional.[4]
Permasalahan
Dalam
penulisan artikel hukum HAM
ini, penulis akan memfokuskan
Imech pada konsep penegakan HAM
dan pelanggaran berat HAM di
Indonesia adalah sebagai
berikut :
1.
Apa yang
dimaksud dengan penegakan
hukum HAM dan
pelanggaran berat HAM di Indonesia
dan bagaimana posisi
kedudukan hukum HAM
terhadap pelanggaran berat
HAM itu ?
2.
Bagaimana tanggung
jawab negara dalam
menyelesaikan berbagai macam
kasus pelanggaran berat HAM di
Indonesia ?
Tujuan Penelitian
Pada
dasarnya, adapun yang
menjadi tujuan penelitian
dalam penulisan artikel
hukum HAM ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk
Mendiskripsikan apa yang dimaksud
dengan penegakan
hukum HAM di
Indonesia dan bagaimana
posisi kedudukan Hukum
HAM terhadap pelanggaranberat HAM itu.
2. Untuk mendikripsikan bagaimana
tanggung jawab Negara
terhadap berbagai macam kasus pelanggaran berat HAM di
Indonesia.
Istilah
Dan Definisi Hak
Asasi Manusia (HAM)
Istilah
dpat dikenal dalam
berbagai Bahasa asing,
antara lain, seperti ; human rights, des
droit de l’ homme, the
rights of man,
basic rights. Semua istilah
secara substansial adalah
sama, hanya saja
peristilahannya yang berbeda.
Dalam
hal ini, HAM
adalah singkatan dari
hak asasi manusia,
dimana masing-masing kata
tersebut mempunyai makna. Oleh
karena itu, kata
“Hak” yang berarti sebagai
kepunyaan, atau kekuasaan
terhadap sesuatu, sedangkan asasi
adalah sesuatu hal
yang paling utama
dan mendasar. Sehingga
dapat kita katakan
bahwa HAM adalah
sesuatu hal yang
paling utama dan
mendasar yang dapat
dimiliki oleh setiap
orang. Dalam prakteknya,
ada banyak sekali
pelanggaran HAM yang
terjadi di Indonesia.
Pelanggaram HAM ini
dapat dilakukan semata-mata
untuk kekuasaan dan
kepemilikan sumber daya
alam yang dimilikinya
oleh suatu bangsa
yang dijajah. Sebab
itu, HAM yang
dimiliki oleh semua
orang pada setiap
saat dan disemua
tempat dimana manusia
itu berada karena
manusia dilahirkan sebagai
manusia yang hak
asasinya tidak dapat
terkurang dalam hal
apapun. Oleh karena itu,
Hak-hak tersebut termasuk
hak untuk hidup,
hak kebebasan dan
harta kekayaan.
Berikut ini,
ada beberapa konsep
HAM menurut para
ahli diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Menurut John
Locke, bahwa HAM
adalah hak asasi
yang langsung diberikan
oleh Tuhan kepada setiap
manusia sejak lahir
sebagai hak kodrati, karena HAM
bersifat mendasar (fundamental) bagi
setiap manusia yang
pada hakekatnya suci
dan murni. Jadi
pengakuan tidak diperlukan
bagi HAM, baik
itu pemerintah maupun
dari suatu sistem
hukum karena HAM
bersifat universal.
2. Menurut Miriam
Budiarjo, bahwa HAM
adalah hak asasi
yang dimiliki oleh
setiap orang sejak
dilahirkan ke dunia,
karena hak itu
sifatnya universal dan
abadi tanpa adanya
perbedaan kelamin, ras, warna
kulit, rambut, budaya,
suku, dan agama.[5]
3. Menurut Prof. Koentjoro, bahwa
HAM adalah suatu
hak yang bersifat
asasi dan mendasar.
Karena hak-hak yang
dimiliki oleh setiap
orang berdasarkan kodratnya
yang pada dasarnya
tidak bias dipisahkan
dari padanya, sehingga
bersifat suci.
4. Menurut Oemar
Seno Adji, bahwa
HAM adalah hak
asasi yang melekat
pada setiap martabat
orang sebagai insan
dari ciptaan Tuhan
yang maha kuasa,
yang sifatnya tidak
boleh dilanggar oleh
siapapun termasuk negara.
5. Menurut Pasal
1, UU No. 39/1999
Tentang HAM, menyatakan
bahwa HAM adalah
seperangkat hak yang
melekat pada diri
manusia sebagai makhluk
ciptahan Tuhan yang
maha kuasa, dimana
hak tersebut merupakan
anugarhnya yang wajib
dilindungi dan dihormati
oleh siapapun.
Selanjutnya, berbicara
tentang konsep HAM
dan pelanggaran HAM
di Indonesia, tidak
terlepas dari prinsip-prinsip HAM
dalam konteks hukum
HAM internasional, maka
akan terkait dengan
prinsip-prinsip umum hukum
internasional (general
principles of law)
yang juga merupakan
salah satu sumber hukum
internasional yang utama (primer)
di samping perjanjian
internasional (treaty), hukum
kebiasaan internasional (customary international law), yurisprudensi, dan
doktrin (pendapat para
ahli terdahulu), sehingga
suatu prinsip dapat
dikategorikan sebagai prinsip-prinsip umum
hukum internasional yang
diperlukan dua hal,
yaitu adanya penerimaan
(acceptance) dan
pengakuan (recognition) dari masyarakat
internasional. Oleh karena itu,
prinsip-prinsip HAM yang
sudah memenuhi kedua
syarat itu dapat
memiliki kategori sebagai prinsp-prinsip
umum hukum. Maka
pada kenyataannya, hal
itu kemudian dikombinasikan ke
dalam berbagai instrument
hukum internasional, misalnya
perjanjian internasional.
Beberapa prinsip
telah menjiwai HAM. Prinspi-prinsip tersebut
terdapat di hampir
semua perjanjian internasional
yang kemudian disalurkan
ke dalam hak-hak
yang lebih luas. Prinsip
kesetaraan, pelarangan
diskriminasi dan kewajiban
positif yang dapat
dibebankan kepada setiap
negara yang digunakan
untuk melindungi hak
asasinya. Oleh karena itu, gagasan
mengenai HAM dibangun
atas prinsip dasar
kesetaraan. Prinspi ini
secara ratio menekakan
bahwa sesungguhnya manusia
berkedudukan setara yang
menyangkut harkat dan
martabatnya, karena manusia
mempunyai kedudukan setara
di dalam HAM,
berbagai perbedaan yang
melekat pada diri
manusia tidak menyebabkan
status sosial kedudukannya menjadi
tidak setara,, sebab
walaupun begitu tetaplah
ia sebagai manusia.
Hal ini tercermin
misalnya dari prinsip
“equality pay
for equal work”
yang dalam “Universal
Declaration of human
Rights / UDHR” dianggap sebagai
hak yang sama
atas pekerjaan yang
sama. Prinsip tersebut
ini sekaligus juga
merupakan HAM dibidang
pembangunan (rights to development).[6]
Dalam konsep
tersebut, kesetaraan masyarakat
adanya perlakuan yang
sama tanpa mengurangi
hak asasinya, dimana pada
situasi yang sama
harus pula diperlakukan
dengan sama, dan
dengan perdebatannya itu,
dimana pada situasi
yang berbeda diperlukan
dengan sama pula. Pelanggaran terhadap
diskriminasi merupakan salah
satu bagian penting.
Jika semua orang
setara, maka sehurusnya
tidak ada perlakuan
yang diskriminasi (selain
tindakan afirmatif yang
dilakukan untuk mencapai
kesataraan). Prinsip ini
dinamakan prinsip non-diskriminasi. Dalam “International Bill
of human Rights”, yaitu
UDHR, ICCPR, dan
ICESCR, prinsip ini
sudah dimuatkan secara
tegas, bahkan sebelunya,
hal yang sama
juga telah lebih
dahulu ditegaskan dalam
piagam PBB (Inited Netion
Charter).
Hukum
HAM internasional memperluaskan
konsep diskriminasi yang
di dalam “Universal Declaration
of human Rights / UDHR”, pada
tahun 1948, dapat
menyebutkan beberapa alasan
mendasar, antara lain,
ras, warna kulit, jenis
kelamin, Bahasa, agama, dan budaya,
mendapat politik atau
opini lainnya, nasionalitas,
atau kebangsaan, kepemilikan
akan suatu benda (property), kelahirna
atau status lainnya,
semua itu merupakan
alasan yang tidak
terbatas dan semakin
banyak pula instrument
internasional yang memperluas
alasan diskriminasi, termasuk
di dalamnya orientasi
seksual, umur dan
cacat tubuh.
Prinsip kewajiban
positif negara timbul
sebagai konsekuensi logis
dan adanya ketentuan
menurut hukam HAM
internasional yang menyatakan
bahwa individu adalah
pihak pemegan HAM (rights
bearer) sedangkan negara
berposisi sebagai pemegang
kewajiban (duty bearer) tetapi terbatas
terhadak HAM, yaitu
kewajiban untuk melindungi
HAM, kewajiban untuk
menjamin HAM, kewajiban
untuk menghormati HAM
dan kewajiban untuk
memenuhi HAM setiap
individu itu. Berdasarkan
hukum HAM internasional
kewajiban diatas merupakan
kewajiban yang bersifat
“erga omnes”,
artinya kewajiban bagi
semua negara jika
menyangkut norma-norma HAM
yang bergategori sebagai
“jus cogen”(peremptory norm).misalnya larangan
untuk melakukan perbuadakan,
genocide, apartheid, kejahatan
terhadap kemanusiaan, penyiksaan
dan penahanan secara
sewenang-wenang.
Kesadaran Masyarakat
Internasional Terhadap Pentingnya
HAM
Pada dasarnya, Kesadaran masyarakat
internasional akan pentingnya
perlindungan hak asasi
manusia (HAM) ketika
dunia mengalami krisis
kemanusia luar biasa
pada PD II
(prang Dunia Ke
II), namun dalam
tempo lebih dari
10 (sepuluh) tahun
terakhir, kesadaran akan
HAM berawal mulai
dari selatan Afrika
ke Uni Soviet,
hingga ke Amerika
Latin, negara-negara Pasifik,
Zelandia Baru, Australia
dan negara-negara lain
di berbagai belahan
dunia, yang kesemuanya
merupakan suatu arus
dalam perubahan global
telah meninggalkan otokrasi-otokrasi politik
dan mengisolasikannya bagaikan
para pelaut yang
berada pada bagian
bawah laut dari
gelombang air pajang
yang tidak mengenal
jurut.[7]
Pada
tahun 1989, sejumlah
besar negara dipelbagai
belahan dunia dan
benua, sudah melaksanakan
Reformasi yang berbasasi
HAM, dan bergerak
ke hara kategori
kemunculan dan kemunculan
kembali ke hara
demokrasi konstitusional, yang
dapat memproklamsikan dukungan
besar terhadap HAM internasional dengan
ketulusan hati yang
nurani. Semenjak tahun
1989 misalnya, komite
Helsinki di Polandia
telah mengumumkan bahwa
isu-isu yang berkaitan
dengan ideology akan
dapat dikeluarkan dari
kurikulum sekolah-sekolah, dan
di gantikan dengan
nilai-nilai yang terkandung
dalam Deklarasi Hak
Asasi Manusia (Universal Declaration
of human Rights / UDHR) tahun
1945.
Diantara rezim-rezim baru
yang terlibat dalam
pembangunan institusi dan
kontruksi demokrasi konstitusional, banyak
yang berpandangan bahwa
pendidikan HAM merupakan
sarana penangkal yang
tepat untuk mencegah
kambuhnya kecederungan pelanggaran-pelanggaran HAM
biasa dan pelanggaran-pelanggaran berat
HAM (Gross Violations of
human Rights /
Extra-ordinary Crime), seperti
yang terjadi di
Indonesia, bahkan seorang
guru besar yang
bergelar Profesor yang
sekarang menjadi menteri
polukham RI Mahfud
MD, secara tidak sadar
mengatakan bahwa data
HAM yang diserakan
oleh seorang Aktivis
penggiat HAM Papua,
Veronica Coman kepada
Presiden Jokowidodo Di
Australia baru-baru ini
adalah data HAM
sampah. Tentu saja
kalimat tersebut, justru bentrokan
keras dengan kebijaksanaan
Presiden Jokowidodo, karena
Presiden tersebut sudah
menerima data HAM
itu. Hal ini
sangat mencederai integritas
pemerintah Indonesia dan
mempermalukan dihadapan mata
dunia akan pentingnya
penegakan hukum HAM
di Indonesia, sebab
hak asasi manusia
di Indonesia secara
rasional dapat disamakan
dengan sampah.
Berangkat
dari konsep tersebut
diatas, 35 (tiga-puluh
lima) negara yang
menandatangani persetujuan Helsinki
pada tahun 1975
misalnya, telah menyatakan
niat mereka agar
pada dekade berikut
ketika masuk abad
ke-20, sekolah-sekolah dan
institusi-institusi
pendidikan di dorong
untuk mempertimbangkan penyebarluasan nilai-nilai
HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental
dalam kurikulum HAM
ini. Bagi sebagian
kalangan yang kurang
mendalami bagaimana kondisi
negara Uni Soviet
yang telah mengalami
disintegrasi, tidak bias
diterbayangkan
peristiwa-peristiwa sekejam semacam
penindasan terhadap agama,
peningkatan tindakan kekerasan
terhadap kebebasan-kebebasan berkumpul,
dan pelanggaran terhadap
hak-hak asasi warga
negara minoritas yang
terjadi pada waktu
itu, kini hanya
tinggal hanya cerita
saja. Karena pada
saat itu, memang
tidaklah terbayangkan berapa
lama Reformasi Uni
Soviet yang harus
dilaksanakan sebelum rakyatnya
dapat menikmati hak-hak
dasarnya yang merupakan
hak asasinya.[8]
Di tingkat
internasional, regional, dan
domestik, sejak berdirinya
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada tahun 1945,
sangat kuatnya penghormatan
terhadap HAM yang
dapat ditandai dengan
ditetapkannya beberapa institusi
HAM yang antara
lain terdiri atas :
1. HAM
Di Tingkat Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB)
a.
Charter of
the Nations pada
tahun 1945,
b.
Universal Declaration
of human Rights / UDHR, pada
tahun 1948,
c.
Convention Relating
to the Status
of Refugees, pada
tahun 1954,
d.
International Convenant
on the Elimination
of All forms
of Racial Discrimination (CFERD),
pada tahun 1965,
e.
International Convenant
on Economic, Social,
and Cultural Rights
(ICESCR), pada tahun
1966,
f.
Convention on
the Elimination of All Forms
of Discrimination Against
Women (CEDAW), pada
tahun 1979,
g.
Convention Against
Torture and Other
Cruel, Inhuman Degrading
Treatment or Punishment
(CAT), pada tahun
1984,
h.
Convention on
the Rights of the Child
(CRD), pada tahun
1990, dan
i.
Vienna Declaration
and Programe of
Action (VDPA), pada tahun 1993.
2. HAM Di
Tingkat Regional
a.
European Convention
on human Rights
(ICHR), pada tahun
1952,
b.
American Convention
on human Rights
(ACR), pada tahun
1969,
c.
African (Banjul)
Charter on Human
and People’s Rights
(ACHPR), pada tahun
1981,
d.
Cairo Declaration
on Human Rights
in Islam (CDHRI),
pada tahun 1990,
e.
Bangkok Declaration
(BD), pada tahun
1993, dan
f.
Asian Human
Rights Charter (AHRC),
pada tahun 1997.[9]
3. HAM Di
Tingkat Domestik
a.
Declaration of
the Rights of man and
Citizen (Declaration des
droits de l’homme
et du citiyen),
pada tahun 1789
di Prancis,
b.
Bill of
Rights, pada tahun
1791 di Amerika
Serikat,
c.
Charter of
Rights and Fundamental
Freedom, pada tahun
1982 di Kanada,
d.
Bill of
Rights, pada tahun
1996 di Afrika
selatan,
e.
Human Rights
Act, pada tahun
1998 di Inggris,
f.
Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia
di Indonesia, dan
g.
Undang-Undang No. 26
Tahun 2000 Tentang
Peradilan HAM Ad Hoc
Pengaturan HAM
Dalam Beberapa Peraturan
Dasar Dan Peraturan
Perundang-Undangan HAM Di
Indonesia
Dalam era Reformasi,
pembangunan HAM di
Indonesia dapat mempunyai
landasan hukum yang
signitifkan sejak diberlakukannya Keputusan
Presiden (Kepres) No.
129 Tahun 1998
Tentang Rencana Aksi
Nasional Hak-Hak Asasi
Manusia (HAM) atau
yang lebih dikenal
dengan istilah RAM-HAM
dari tahun 1998
sampai dengan tahun
2003, yang dapat
ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15
Agustus tahun 1998.
Dengan demikian, Kepres
tersebut ditegaskan dalam
4 (empat) pilar
utama mengenai pembangunan
hukum HAM di
Indonesia adalah sebagai
berikut :
1. Persiapan pengesahan
perangkat-perangkat HAM internasional,
2. Diseminasi konsep
pendidikan HAM,
3. Pelaksanaan HAM
yang ditetapkan sebagai
prioritas utama, dan
4. Pelaksanaan isi
atau ketentuan-ketentuan berbagai
perangkat internasional mengenai
HAM yang telah
disahkan oleh pemerintah
Indonesia.
Dalam konsep
tersebut diatas, pemberlakuan
Kepres No. 129
Tahun 1998 tersebut
kemudian di ikuti
dengan penerbitan Intruksi
Presiden (Impres) No. 26
Tahun 1998 Tentang
“Menghentikan Penggunaan Istilah
Pribumi dan Non-pribumi
Dalam Selurruh Perumusan
Dan Penyelenggaraan Kebijakan,
Perencanaan Program, Ataupun
Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan”
yang dikeluarkan di
Jakarta pada tanggal
16 September tahun
1998. Dalam pada
Impres ini, Presiden
menugaskan kepada Menteri
Koordinator Bidang Politik
dan Keamanan mengkoordinasi pelaksanaan Intruksi tersebut di
dalam kalangan para
Menteri dan pejabat-pejabat lainnya
yang dapat disebutkan
dalam kebijakan tersebut
itu.
Eksistensi kedua
peraturan tersebut, yang
kemudian di ikuti
dengan pemberlakuan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1998
Tentang Pengesahan Convention Against
Torture and Other
Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or
Punishment (Konvensi Menentang
Segala Bentuk Penyiksaan
dan Perlakuan atau
Penghukuman yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau
Merehndakan Martabat Manusia).
Selanjutnya pada tanggal
9 Oktober tahun
1998 Presiden B.J.Habibie
mengeluarkan Kepres No. 181
Tahun 1998 Tentang
Komisi Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan. Kepres ini
dikeluarkan untuk mencegahan
dan penanggulangan masalah
kekerasan terhadap perempuan.[10]
Dalam Kepres
tersebut dipertegaskan bahwa
Komisi ini bersifat independen,
yang dapat dikuatkan
dengan pemberlakuan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1998
yang kemudian di
ikuti dengan penetapan
berlakunya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR
RI) No. XVII / MPR / 1998 Tentang
Hak Asasi Manusia
(HAM), yang dapat
pula ditetapkan dalam
Siding Istimewa MPR RI pada
tanggal 13 November
Tahun 1998. Sekitar 30
(tiga puluh) tahun
sebelunya, Rancangan ketetapan
cemacam ini pernah
dibahas dalam siidang
umum MPRS, namun
tidak jadi disahkan
untuk menjadi suatu
ketetapan MPRS mengenai
pentingnya penegakan hukum
HAM di Indonesia.
Kewajiban
Negara Terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM)
Track-record prosedur
hukum HAM mengenai
pelanggaran berat HAM
di Indonesia, menegaskan
bahwa negara merupakan
subjek utama yang
mempunyai kewajiban mutlak
untuk melindungi HAM (protect
of human rights), menjamin
HAM (guearantee of human
rights), menghormati HAM (respect
of human rights),
dan memenhui HAM (fulfill
of human rights).Dalam kaitannya
dengan kewaniban tersebut
terhadap HAM, negara
dituntut untuk tidak
menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of
power), karena pemahaman
negara disini, tidak
hanya mencakup pemerintah
(eksekutif), melainkan juga
legislatif dan ydikatif,
yang termasuk di
dalamnya seluruh aparatur
negara dan aparat
pelaksanakan konsentrasi hukum.
Oleh
karena itu, kewajiban
negara mencakup kontruksi
HAM secara internasional
yang dapat diatur
dalam berbagai instrument
hukum HAM internasional, antara
lain, seperti di
dalam “Universal Declaration of
human Rights / UDHR”,
“International Covenant on
Civil and Political
Rights / ICCPR”, dan “International Convenant
on Economic, Social
and Cultural Rights / ICESCR”, yang telah
disebutkan sebelumnya, Konvensi
Anti Penyiksaan (Convention Against
Tortur / CAT). Adapun di
tingkat nasional kewajiban
negara menyangkut HAM
dapat diatur dalam
prosedir peraturan perundang-undangan nasional,
sepeti UUD 1945
amandemen (***) Bab
XA Tentang Hak
Asasi Manusia, Pasal
28A sampai dengan
Pasal 28J, dan Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia (HAM).[11]
Secara konseptual,
kewajiban negara menyangkut
HAM dapat diwujudkan
dengan perlindungan HAM
setiap individu dari
penyalahgunaan kekuasaan negara,
menjamin eksistensi HAM
setiap individu dalam ketentuan
hukum maupun di
dalam pelaksanaannya, dan
memenuhi HAM setiap
individu. Misalnya terdapat hak
untuk hidup(rights to live),
dan hak untuk
tidak disiksa (rights not
to be tortured), oleh
sebab itu, sesuai
kewajibannya, negara harus
membuat aturan-aturan hukum
yang melarang praktek-praktek penyiksaan,
dan penahanan secara
sewenang-wenang, untuk melindungi
setiap individu dari
tindakan penyiksaan yang
tidak memanusiawi. Negara
juga harus menjamin
bahwa setiap individu
harus benar-benar bebas
dari tindakan penyiksaan
itu. Negara juga
harus pula memenuhi
hak untuk tidak
disiksa secara nyata.
Disisi lain negara
juga diberikan kewajiban
untuk memberikan kompensasi
kepada para korban,
memberikan restitusi dan
Rehabilitasi sebagai bentuk
rasa tanggung jawab
negara terhadap HAM.
Dalam
hal ini, kewajiban negara
terhadap HAM dapat
ditemukan adanya 6
(enam) macam HAM
yang paling mendasar
yang harus di
penuhi oleh negara
adalah sebagai berikut :
1. Personal
Right
(Hak Asasi Pribadi), yaitu hak
asasi pribadi adalah
hak asasi yang
dimiliki oleh setiap
orang, misalnya hak
kebebasan, hak untuk
hidup, hak untuk
memeluk agama, hak
kebebasan berkeyakinan dan beribadah
sesuai dengan iman
kepercayaannya, hak kebebasan
untuk mengeluarkan pendapat,
perasahan dan hati
nurani.
2.
Property Right(Hak Asasi
Ekonomi), yaituhak
asasi ekonomi adalah
hak asasi yang
dimiliki oleh seseorang,
misalnya hak-hak untuk
memiliki suatu barang
(rumah, tanah, perlengkapan
rumah tangga, dan
lain-lain), hak membeli
dan menjual barang,
hak memanfaatkan barang
milik pribadi, hak berusaha dan
memperoleh penghidupan yang
layak, dan lain-lain.
3. Right
Of Legal Equality (Hak
Asasi Dalam Hukum
Dan Pemerintahan),yaitu hak
asasi dalam hukum
dan pemerintahan adalah
hak-hak yang dimiliki
oleh setiap orang
untuk mendapatkan perlakuan
yang sama di
dalam hukum dan
pemerintahan, seperti hak
untuk mendapatkan perlindungan
hukum, hak untuk
berpartisipasi dalam pemerintahan.
Jika hak-hak tersebut
tidak terpenuhi, maka
hal dersebut masuk
dalam kategori pelanggaran
hokum HAM. Oknum dan
atau pelaku tindakan
pelanggaran HAM harus
di proses secara
hukum dan dijatukan
hukuman yang setimpal
sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku
surut.[12]
4. Political
Rights(Hak
Asasi Politik), yaitu hak
asasi politik adalah
hak-hak yang dimiliki
oleh setiap orang
atau individu di
bidang politik, seperti
hak memilih dan
dipilih dalam pemilihan
umum, hak mendirikan
partai politik, hak
mendirikan organisasi, hak
memasuki organisasi sosial
politik, hak kebebasan
berpolitik, hak kebebasan
dalam melaksanakan kegiatan
politik, dan lain-lain.
Jika ada oknum
atau orang yang
berusaha untuk melanggar
dan merampas hak
asasi politik, maka pelaku
tersebut wajib ditindak
secara hukum.
5. Social
and cultural Right (Hak Asasi
Sosial Dan Budaya), yaitu hak
asasi sosial dan
buaya adalah hak
asasi yang di
miliki oleh setiap
orang di bidang
kehidupan sosial dan
budaya, seperti hak
untuk memperoleh pendidikan,
hak untuk memperoleh
pelayanan sosial, hak
untuk memperoleh pelayanan
kesehatan, hak kebebasan
bergaul di dalam
masyarakat, hak untuk
ikut serta dalam
kegiatan kemasyarakatan, kebebasan
mengembangkan nilai-nilai budaya,
hak kebebasan untuk
menghasilkan karya, dan
hak-hak lainnya,
6. Procedural
Rights (Hak
Asasi Prosedur Hukum), yaitu
hak asasi prosedur
hukum adalah hak
asasi yang dapat
di miliki oleh
setiap individu untuk
mendapatkan perlakuan yang
sama sesuai dengan
tata cara peradilan
dan perlindungan hukum,
seperti dalam hak
tata cara penangkapan,
penyidikan, penggeladahan, pembelaan
hukum, peradilan dan
lain sebagainya.
Tuntutan Penyelesaian
Kasus-Kasus Pelanggaran HAM
Di Indonesia
Di samping
menetapkan perubahan kedua
UUD 1945, dalam
Siding Tahunan Pertama
Tahun 2000 tersebut,
MPR melakukan pembahasan
terhadap laporan tahunan
Lembaga-Lembaga Tinggi Negara
dalam melaksanakan GBHN
dan Ketetapan-Ketetapan MPR
lainnya. Hal ini
tertuang dalam Ketetapan
MPR No. VIII / MPR / 2000 Tentang
Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara pada siding
tahunan MPR tahun
2000. Dalam Ketetapan
tersebut, khususnya yang
berkaitan dengan penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM,
MPR memberikan catatan
yang menyatakan bahwa “penyelesaian kasus-ksus
pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) masih
terkesan lamban, diskriminatif, dan
belum tuntas sementara
praktek-praktek
pelanggaran-pelanggaran HAM terus
berlaungsung bahkan sering
terjadi penyalahgunaan upaya
penegakan hak asasi
manusia”.[13]
Sehubungan dengan
penilaian terhadap penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM
tersebut, MPR kemudian
menugaskan kepada Presiden
untuk segera menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM
secara serius dan
adil. Selanjutnya, pada
tanggal 23 November
Tahun 2000, sebagai
pengganti Perpu No. 1
Tahun 1999 yang
ditetapkan dengan Undang-undang
No. 26 Tahun 2000
Tentang Peradilan HAM
Ad Hoce. Salah
satu latar belakang
pembentukan UU No. 26
Tahun 2000 ini
sebagaimana tercantum dalam
bagian penimbangan yang menyatakan
bahwa Pembentukan Peradilan
HAM Ad Hoce
ini untuk menyelesaikan
pelanggaran-pelanggaran HAM biasa
dan Pelanggaran-pelanggaran berat
HAM yang telah
diupayakan oleh pemerintah
berdasarkan Perpu No. 1
Tahun 1999 Tentang
Pembentukan Pengadilan HAM
Ad Hoce, yang
dapat di nilai
tidak memadai, sehingga
tidak diselesaikan oleh
DPR RI untuk
menjadi Undang-Undang dan
karena itu, Perpu
tersebut harus dicabut.
Selanjutnya dapat
dikaitkan dengan penugasan
MPR kepada Presiden
untuk di selesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM
biasa maupun pelanggaran
berat HAM tersebut.
Penugasan tersebut kemudian
sempat ditindak-lanjuti oleh
Presiden Abraham Wahid
dengan menerbitkan “Keputusan
Presiden (Keppres) No. 53
Tahun 2001 Tentang
Pembentukan Peradilan HAM
Ad Hoce Pada
Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat” pada tanggal
23 April Tahun
2001. Dalam konsteks
tersebut, Pembentukan Keppres
ini dilakukan sebagai
pelaksanaan Pasal 43
ayat (1) UU No.
26 Tahun
2000 Tentang Pengadilan
HAM Ad Hoce,
yang menegaskan bahwa
pelanggaran HAM yang
berat yang terjadi
sebelum berlakunya Undang-Undang
ini diperiksa dan
di putuskan oleh
pengadilan HAM Ad
Hoce.
Dalam Keppres
tersebut dinyatakan bahwa
pengadilan HAM yang
di bentuk di
Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, dapat berwenang
untuk memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran
HAM yang berat
yang terjadi di
Timor-Timor pada pasca-jajak
pendapat dan yang
terjadi ditanjung Priok
pada tahun 1984.
Namun tidak sempat
Keppres tersebut dilaksanakan
pada awal Megawati
Soekarno-Putri menjadi Presiden
RI. Keppres tersebut
ini justru mengalami
revisi, dengan menerbitkan
Keppres No. 96 Tahun
2001 Tentang Perubahan
Atas Keputusan Presiden
No. 53 Tahun 2001
Tentang Pembentukan Pengadilan
HAM Ad Hoc
pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Bagian
dari Keppres tersebut
yang kesempurnaan adalah
Pasal 2, dengan
maksud untuk lebih
memperjelas tempat dan
waktu tindak pidana
(locus dan
tempus delicti) pelanggaran
HAM berat yang
terjadi di Timor-Timor
dan Tanjung Priok. Pengadilan HAM
Ad Hoce dapat
berwenang untuk memeriksa,
menetap dan memutus.
Berdasarkan Pasal
2 dinyatakan bahwa
pengadilan HAM Ad
Hoce, berwenang untuk
memerikasa dan memutus
kasus-kasus pelanggaran berat
HAM yang terjadi
di Timor-Timur dalam
wilayah hukum Liquica,
Dilli, dan Suai,
pada bulan April
tahun 1999, dan
bulan September 1999
yang terjadi di
Tanjung Priok pada
bulan September tahun
1998. Dalam pelaksanaan
Sidang Tahunan MPR
RI pada bulan
November Tahun 2001,
masalah pelanggaran kasus-kasus
HAM berat ini
menjadi sorotan utama.[14]
Pada konteks
ini MPR RI
dapat menilai bahwa
kasus-kasus pelanggaran HAM
berat belum dilaksanakan
secara cepat, adil,
beradap, dan tuntas,
bahkan masih terkesan,
lambat laun dan
diskriminatif, sehingga belum
mencapai rasa keadilan
hukum bagi masyarakat
umum. Berkaitan dengan
hal tersebut diatas,
MPR RI menugaskan
kepada presdiden untuk
segera menyelesaikan proses
penyidikan dan tuntutan
hukum atas perkara-perkara dugaan
pelanggaran berat HAM
Berkaitan dengan
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran
berat HAM tersebut
ini, MPR RI,
juga pernah menegaskan
melalui Ketetapan MPR RI No. V / MPR / 2000 Tentang
Pemantapan Persatuan Dan
Kesatuan Nasional, agar
dibentuk Komisi Kebenaran
Dan Rekonsiliasi (KKR).
Karena dalam Ketetapan
MPR RI ini
jelas menugaskan kepada
pemerintah untuk segera
menundak lanjuti Ketetapan
MRP RI yang
berbunyi : “Pembentukan Komisi
Kebenaran Dan Rekonsiliasi
Nasional Sebagai Lembaga
Extra Yudisial Yang
Jumlah Anggota Dan
Kriterianya Di Tetapkan
Dengan Undang-Undang. Komisi
Ini Untuk Menegakan
Kebenaran Dengan Mengungkapkan
Penyalahgunaan Kekuasaan Dan
Pelanggaran HAM Pada
Masa Lalu Sesuai
Dengan Ketentuan Hukum
Dan Perundang-Undangan Yang
Berlaku Surut, Dan
Melaksanakan Rekonsiliasi Dalam
Persfekti Kepentingan Bersama
Sebagai Suatu Bangsa
Yang Merdeka Dan
Beradab. Langkah-Langkah Setelah
Penggungkapan Kebenaran, Dapat
Dilakukan Pengakuan Kesalahan,
Permitaan Maaf, Pemberian
Maaf, Perdamaian, Penegakan
Hukum, Amnesty, Rehabilitasi,
Atau Alternatif Lain Yang
Bermanfaat Untuk Menegakan
Persatuan Dan Kesatuan
Bangsa Dengan Sepenuhnya
Yang Dapat Memperhatikan
Rasa Keadilan Dalam
Masyarakat, Bangsa, Dan
Negara”.[15]
Realisasi Ketetapan
inilah yang ditanyakan
oleh MPR RI
dalam Sidang Tahunan
kedua pada bulan
November tahun 2001.
Hal ini sesuai
dengan pertanyaan MPR
RI yang menegaskan
bahwa amanat Ketetapan
MPR RI No. V / MPR / 2000, tersebut
khususnya untuk membentuk
Komisi Kebenaran Dan
Rekonsiliasi yang belum
direalisasikan oleh pemerintah.
Karena MPR RI
menugaskan kepada Presiden
agar Presiden bersama
DPR RI membentuk
Undang-Undang Tentang Komisi
Kebenaran Dan Rekonsiliasi
terhadap kasus-kasus pelanggaran
berat HAM.
Penegakan Hukum
HAM Di Tingkat
Nasional (Indonesia)
Pembukaan Deklarasi Universal
HAM dapat menyatakan
bahwa perlindungan terhadap
HAM harus dilaksanakan
melalui sarana hukum,
hal ini dinayatakan
sebagai berikut : “Whereas
it is essential
that human rights
should be protected
by the rule
of law” , hal
tersebut ini dapat
diartikan bahwa di
tingkat Nasional Masalah
perlindungan HAM harus
diatur terlebih lanjut
melalui sarana hukum
dan diharapkan aspek
kepastian hokum terhadapp
perlindungan HAM akan
lebih terjamin. Berdasarkab
Pasal 2 UU No.
39 Tahun
1999 Tentang Hak
Asasi Manusia (HAM),
ditegaskan bahwa Negara
Republik Indonesia mengakui
dan menjunjung tinggi
hak asasi manusia
(HAM) dan kebebasan
dasar manusia sebagai
hak yang secara
kodrati melekat pada
manusia dan tidak
terpisahkan dari manusia
itu, yang harus
di lindungi, di
hormati, dan ditegakan
demi peningkatan martabat
kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan,
dan kecerdasan, serta
keadilan.[16]
Oleh kareha itu,
tract-record HAM telah
mendapat pengakuan secara
prosedur hukum nasional.
Peningkatan terhadap HAM
tentunya akan berimplikasi
pada pelanggaran hokum
HAM. Hal ini
dikarenakan HAM adalah
hak hukum (legal rights)
yang pemenuhannya menjadi
tanggung jawab negara.
Dalam hal ini,
Indonesia sebagai negara
anggota PBB, tentu saja
mempunyai kewajiban untuk
melindungi, (to protect), menjamiin
(to ensure),
dan memenuhi (to fulfill)
terhadap HAM. Disamping
secaea moral, Indonesia
juga memmpunyai kewajiban
secara hukum untuk
mewujudkan ketiga hal
tersebut diatas, yang
telah dinyatakan dalam
UU No. 39 Tahun
1999 Tentang Hak
Asasi Manusia (HAM).
Pada dewasa ini,
penegakan hukum HAM
di Indonesia telah
didukung dengan berbagai
peraturan
perundang-undangan. Landasan konstitusionalitas terhadap
HAM di Indonesia
juga telah diatur
secara tegas dalam
konstitusi (UUD 1945),
sebagai sumber hukum
tertinggi dalam negara
hukum dan demokrasi. UUD 1945
secara ekplisit telah
mengatur HAM di
dalam Bab XA,
dari Pasal 28A
sampai dengan Pasal
28J. berangkat dari
konsep dasar itu,
penegakan hukum HAM
di Indonesia secara
kelembagaan terdapat dua
institusi yang mempunyai
peran yang sangat
penting, yaitu Komisi
Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM)
dan Pengadilan HAM
Ad Hoce. Kedua
lembaga atau institusi
ini berdiri secara
Independen diluar pengaruh
politik pemerintah dan
sangat penting, terutama
kita kaitkan dengan
masalah pelanggaran berat
HAM (Gross Violations of
human Rights / Extra-ordinary Crime).
Dalam konsep tersebut,
Komnas HAM dapat
didirikan berdasarkan Keppres
No. 50 Tahun 1993
dengan tujuan untuk
pengembangan kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan
HAM serta peningkatan
perlindungan HAM. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut,
Komnas HAM melakukan
sejumlah kegiatan yang
pada intinya memuat
tiga hal mendasar,
yaitu :
1. Menyebarluaskan wawasan
HAM pada masyarakat
Indonesia, dan internasional,
2. Pengkajian berbagai
instrument HAM PBB
dalam rangka aksesi / ratifikasi, dan
3. Pemantauan, penyelidikan,
penyidikan, dan pelaksanaan
HAM.
Dalam
babak perkembangan selanjutnya,
eksistensi Komnas HAM
lebih di kuatkan
dengan adirnya UU No.
39 Tahun
1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, Dan UU No. 26
Tahun 2000 Tentang
Peradilan HAM Ad
Hoce. Dalam hal
ini Komnas HAM
memiliki kewenangan sebagai
penyelidik, sedangkan Jaksa
Agung sebagai penyedik
dalam kasus-kasus pelanggaran
berat HAM. Pengadilan HAM
Ad Hoce dapat di bentuk
sebagai amanat dari
UU No. 39 Tahun
1999 Tentang Hak
Asasi Manusia (HAM)
untuk mengadili kasus-kasus
pelanggaran berat HAM,
sebagai tindak lanjuti
dari ketentuan tersebut
di bentuklah Undang-Undang
tersendiri sebagai dasar
hokum pembentukan pengadilan
HAM Ad Hoc,
yaitu UU No.
26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan HAM
Ad Hoce.
Dengan demikian, pengadilan
HAM Ad Hoce,
merupakan pengadilan khusus
dan independen diluar
lingkungan pengadilan umum
dan memiliki tugas
dan kewenangan untuk
memeriksa, menetap, dan
memutuskan perkara pelanggaran
berat HAM. Adapun
pelanggaran berat HAM
yang dimaksud yang
melitpuh, Kejahatan
Genocide, Kejahatan Apartheid, Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan, Kolonialisme (Crimes
Against Humanity).Oleh karena
itu, UU No. 26
Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM Ad
Hoce, dapat menentukan
bahwa untuk kasus-kasus
pelanggaran berat HAM
yang terjadi sebelum
Undag-Undang ini di Undangkan akan
di periksa, ditetapkan,
dan diputuskan oleh
pengadilan HAM Ad
Hoce, atas usulan
DPR RI berdasakan
peristiwa tertentu yang
akan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden (Keppres).
Penutup
Berdasarkan uraian tersebut
diatas dapat ditemukan
beberapa hal sebagai
berikut :
1. Berakhirnya PD
II (Prang Dunia
II) didirikan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), dan
dihasilkan Deklrasi Hak
Asasi Manusia (Universal Declaration
of human Rights / UDHR) pada
thaun 1945 dan
instrumen-intrumen HAM internasional serta
diakuinya hak asasi
individu sebagai subjek
hukum internasional dalam
perkembangan HAM di
dunia.
2. Hukum internasional
menegaskan bahwa HAM
harus di lindungi,
dihormati, dan dipenuhi
melalui sarana hukum (should
be protected by
the rule of
law).
3. Dalam kaitannya
dengan penegakan hukum
HAM di tingkat
Nasional. Secara yuridisi
normatif dan institusional, pada
saat ini Indonesia
telah mengesahkan sarana
hukum HAM untuk,
melindungi, menjamin, dan
memenuhi HAM. Hal
ini dapat dibuktikan
dengan adanya pengesahan
terhadap 8 konvensi
internasional dan yang
diterapkan melalui peraturan
perundang-undangan yang secara
substansial dapat mengatur
HAM. Adapun secara
institusional, yang menerapkan dengan adanya
lembaga-lembaga yang dibentuk
secara khusus dan
independen tentang masalah
HAM, misalnya Komnas
HAM dan Peradilan
HAM Ad Hoce.[18]
4. Penegakan hukum
HAM di tingkat
Nasional dapat juga
di dilaksanakan dengan
cara menerapkan prinsip
yurisdiksi universal (Universal jurisdiction) pada
pengadilan HAM nasional
suatu negara.
5. Penegakan hukum
HAM internasional dalam
system di bahwa
PBB yang dilakukan
dengan cara :
Ø Melalui
penjanjian internasional dalam
kerangka PBB (United Nations
Treaty based),
Ø Membentuk pengadilan
pidana Ad Hoce, berdasarkan
resolusi DK-PBB, dan
Ø Pembentukan pengadilan
campuran (hybrid tribunal)
berdasarkan prinsip tanggung
jawab negara (principles state
responsibility).
6. ICC merupakan
sarana penegakan hukum
HAM yang mendasarkan
pada perjanjian internasional
(international treaty),
yaitu Statute Roma
1998. Walaupun ICC
adalah sistem yang
bersifat otonom, namun
dapat memiliki hubungan
keterikatan dengan PBB,
khususnya dengan DK-PBB
dalam hal suatu
sistem penggunaan mekanisme
pemicu (trigger mechanisms).
Daftar Pustaka
1. Acott Davidson, Hak Asasi
Manusia, Sejarah, Teori dan
Praktek dalam Pergaulan
Internasional, Jakarta:
Grafiti, 1994, hlm.2.
2. Rhona K. M.
Smith, et. al., Hukum Hak
Asasi Manusia, Yogyakarta:
PUHAM-UII, 2008, hlm.11.
3. Franz
Magnis Suseno, Etika
Politik Prinsip-prinsip Moral
Dasar Kenegaraan Modern,
Jakarta: Gramedia, 1994, hlm.123.
4. Andrey
Sujatmoko,Vidi Human
Rights Question and
Answers, New York:
United Nations Departement
of Public Information, hlm.57.
5. Thomas
Buergenthal, International Human
Rights, St. Paul, Minn.:
West Publishing Co., 1995, hlm. 1.
6. Richard
Pierre Claude dan
Burns H. Weston, eds. Human Rights
in the World
Community (Philadelphia:
University of Pennsylvannia
Press, 1995), hlm.9.
7. Satya Arinanto,
“Negara Orde Baru
dan Hak-hak Rakyat”, Hukum dan
Pembangunan Februari, 1997, hlm. 6.
8. Satya
Arinanto, Hak Asasi Manusia
dalam Transisi Politik
di Indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara,
Fakultas Hukum UI, 2018, hlm.1.
9. Frank Newma dan David
Weissbrodt, oleh Satya Arinanto, Selectid International
Human Rights Instrument (Cincinnati: Adreson Publishing
Co., 1990. Hlm. 4.
10. Ian Brownlie,
ed., Basic Document
on Human Rights,
atau Document-Document Pokok
Mengenai Hak Asasi
Manusia, terj. Beriansyah dan
Rudiansyah (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), 1993. Hlm.4-5.
11. Lihat
Ismail Sany, “Agenda Perubahan
UUD 1945,” dalam
Tim Pakar Hukum
Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia
RI, Gagasan dan Pemikiran
tentang Pembaharuan Hukum
Nasional (Jakarta: Tim Pakar
Hukum Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi
Manusia RI, 2002). hlm. 125.
12. Republik
Indonesia, Undang-Undang tentang
Pengesahan Convention Against
Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang segala
Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penhukuman Lain
yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat Manusia), UU No.
5 Tahun
1998, LN Nomor 164
Tahun 1998. TLN No. 3783., hlm. 7.
13. A.
James Mc
Adams, ad., Transnasional Justice
and the Rule
od Law New
Democracies (Notre Dame : University of
Notre Dame Press, 1997), hlm.43.
14. Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Ad Hoce pada
Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Keppes Nomor 53
Tahun 2001, Bagian Menimbang
butir a. hlm. 33.
15. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, Putusan Majelsi
Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 2002
(Jakarta: Sekretariat
Jendral MPR RI, 2002), hlm.62.
16. Lihat Pula Satya
Arinanto, “Pengaturan Hak
Asasi Manusia Dalam
Rangka Amandemen UUD
1945”, (Makalah
Disampakan dalam “Seminar
Amandemen UUD 1945
yang di selenggarakan
oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen
Kehakiman dan HAM RI di
Jakarta, 9-10 Oktober 2001), hlm.3.
17. Republik
Indonesia, Undang-Undang
tentang Hak Asasi
Manusia, UU No. 39
Tahun 1999, LN Nomor
165 Tahun 1999, TLN
Nomor 3886.
[1]Acott Davidson,
Hak Asasi
Manusia, Sejarah, Teori dan
Praktek dalam Pergaulan
Internasional, Jakarta:
Grafiti, 1994, hlm.2.
[2]Rhona K. M. Smith, et. al., Hukum Hak Asasi
Manusia, Yogyakarta: PUHAM-UII, 2008, hlm.11.
[3]Franz Magnis
Suseno, Etika Politik
Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1994, hlm.123.
[4]Andrey Sujatmoko,Vidi Human
Rights Question and
Answers, New York:
United Nations Departement
of Public Information, hlm,57
[5]Thomas Buergenthal, International Human Rights, St. Paul, Minn.: West Publishing
Co., 1995, hlm. 1.
[6]Richard Pierre
Claude dan Burns
H. Weston, eds. Human Rights
in the World
Community (Philadelphia:
University of Pennsylvannia
Press, 1995), hlm.9.
Satya
Arinanto, “Negara Orde Baru
dan Hak-hak Rakyat”, Hukum dan
Pembangunan Februari, 1997, hlm. 6.
[7]Satya Arinanto,
Hak Asasi
Manusia dalam Transisi
Politik di Indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara,
Fakultas Hukum UI, 2018, hlm.1.
[8]Frank Newma
dan David Weissbrodt, oleh Satya
Arinanto, Selectid International
Human Rights Instrument (Cincinnati: Adreson Publishing
Co., 1990. Hlm. 4.
[9]Ian
Brownlie, ed., Basic Document
on Human Rights,
atau Document-Document Pokok
Mengenai Hak Asasi
Manusia, terj. Beriansyah dan
Rudiansyah (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), 1993. Hlm.4-5.
[10]Lihat Ismail
Sany, “Agenda Perubahan UUD
1945,” dalam Tim
Pakar Hukum Departemen
Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia RI, Gagasan
dan Pemikiran tentang
Pembaharuan Hukum Nasional (Jakarta: Tim
Pakar Hukum Departemen
Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia RI, 2002). hlm. 125.
[11]Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan
Convention Against Torture
and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or
Punishment (Konvensi Menentang
segala Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penhukuman
Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia),
UU No. 5 Tahun
1998, LN Nomor 164
Tahun 1998. TLN No. 3783., hlm. 7.
[12]
A. James Mc Adams, ad., Transnasional Justice and
the Rule od
Law New Democracies (Notre
Dame : University of Notre
Dame Press, 1997), hlm.43.
[13]Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Ad Hoce pada
Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Keppes Nomor 53
Tahun 2001, Bagian Menimbang
butir a. hlm. 33.
[14]Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia, Putusan
Majelsi Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun
2002 (Jakarta: Sekretariat Jendral
MPR RI, 2002), hlm.62.
[15]Republik Indonesia, Undang-Undang
tentang Hak Asasi
Manusia, UU No. 39
Tahun 1999, LN Nomor
165 Tahun 1999, TLN
Nomor 3886., hlm.16.
[16]Lihat Pula
Satya Arinanto, “Pengaturan
Hak Asasi Manusia
Dalam Rangka Amandemen
UUD 1945”, (Makalah Disampakan
dalam “Seminar Amandemen
UUD 1945 yang
diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan
HAM RI di
Jakarta, 9-10 Oktober 2001), hlm.3.
[17]Ibid
[18]Ibid
0 Response to "PENEGAKAN HUKUM HAM DAN PELANGGARAN BERAT HAM DI INDONESIA"
Post a Comment