NOKEN DAN PEREMPUAN PAPUA
Oleh Tobias Nggaruaka)*
Kita tentu bertanya-tanya apakah makna noken dan apakah makna yang terkandung di balik nama noken? Ketika kita berbicara tentang noken maka secara tidak langsung kita berbicara tentang Papua. Papua identik dengan noken. Noken juga identik dengan perempuan Papua. Noken merupakan salah satu nilai kreasi dan bahkan sebagai artefak yang melekat dalam kehidupan orang Papua. Noken merupakan salah satu dari sekian benda artefak yang menjadi identitas orang Papua. Ada puluhan nama adat sesuai dengan bahasa setiap daerah atau setiap kampung di Papua tentang noken sesuai bahasa daerah masing-masing. Tentu noken memiliki nilai artefak dan memiliki makna dalam sejarah setiap daerah di Papua. Noken identing Perempuan Papua. Kehidupan orang dimaknai dalam makna noken. Tentu noken memiliki nilai kultur yang tinggi. Noken merupakan salah satu bentuk kreasi yang dilestarikan dari waktu ke waktu. Pemahaman akan warisan kolektif menjadi noken menjadi satu dari sekian benda yang telah dideklarasikan di tingkat dunia.
Walaupun kita melihat perkembangan bahwa ternyata noken kemudian di desain dengan berbagai macam desai dan diberi label sesuai dengan keinginan atau pun untuk penanda wilayah adat atau pun nama-nama orang, nama daerah, dan berbagai nama yang kemudian didesain dengan ciri dan warna yang berbeda-beda. Perkembangan globalisasi terus beranjak, maka marilah kita memaknai noken bukan hanya sebagai salah satu bentuk rajutan tetapi bagaimana kita memaknai noken yang memiliki nilai kultur yang luar biasa. Noken dikembangkan dan terus berkembang seiring peradaban dunia. Noken mesti dikembangkan dan terus dikembangkan sebagai salah satu kekhasan daerah. Apalah makna noken marilah kita sama-sama mendalami noken. Noken bukan sekadar nama tetapi noken memiliki filosofis yang tentu identik dengan perempuan Papua dan sangat penting dan sangat mendalam berkaitan dengan “mas kawin”. [1]Mahar atau mas kawin sebagai simbol penghargaan perempuan. Perempuan Papua diposisikan sebagai pihak yang mesti dihormati dan dihargai di mata kaum laki-laki. Tidak hanya di mata laki-laki, tetapi bagaimana kita sama-sama memahami perempuan adalah pihak yang tidak lagi harus hidup dalam keterkungkungan laki-laki, tetapi bagaimana di era disrupsi ini perempuan diberikan peluang untuk terus mengembang kan kemampuan-kemampuan yang sesungguhnya adalah anugra yang telah diwariskan oleh Tuhan kepada kaum perempuan.
Apalah arti perempuan Papua di mata laki-laki. Perempuan Papua identik dengan noken, perempuan Papua juga identik dengan Cenderawasih. Di era abad 21 ini kita mungkin baru gencar-gencar berbicara soal emansipasi wanita, tetapi sebenarnya hal ini sudah berada pada posisi pertengahan dari perubahan paradigma. Di daerah lain tentu kita dapat melihat perempuan menjadi pihak-pihak yang kemudian menjadi kepala keluarga, perempuan yang memberi nafkah kepada suaminya, perempuan yang berkerja dan tidak lagi mengharap kan suaminya. Pertanyaan saya apakah dalam kehidupan budaya Papua di beberapa suku itu tidak temukan hal itu, atau malah tergambar bahwa perempuan yang memiliki andil dalam mencari nafkah, membesarkan anak dengan penuh kasih sayang, memberikan jaminan kepada laki-laki, walaupun dengan kehidupan yang sangat berat !
Kita hari baru berbicara soal emansipasi wanita, tetapi mungkin sudah terlambat keran ketika kita melihat paradigma baru diera disrupsi bahwa hari ini kehidupan dikota-kota besar pekerjaan perempuan telah diambil ahli oleh kaum laki-laki dan sebaliknya perempuan mengambil alih pekerjaan laki-laki. Hari ini kita tidak hanya berbicara soal emansipasi wanita tetapi kita juga mulai berbicara soal studi maskulinitas. Tentu hal-hal yang mungkin tergambar dalam pola patriarki yang membuat perempuan terbelakang, membuat tak berdaya, membuat posisi perempuan terpinggirkan, bahkan perempuan tidak memiliki hak atas proses pemberian nama dan marga kepada buah-buah hati yang dilahirkan dengan mengorbankan kehidupannya sekalipun mati. Hak-hak perempuan kemudian disuarakan dengan hadirnya media massa salah satunya lewat iklan[2] yang kemudian membuat laki-laki juga kala saing dan direndahkan. Posisi laki-laki kemudian di ijak-ijak.
Pantaskah kita berbagi sebagai anak Papua yang memiliki jati diri bahwa sesungguhnya di dalam budaya banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang tersirat. Hari ini noken menjadi identitas semua orang apakah dia orang Papua atau non Papua ketika memakai noken maka tentu akan menjadi tanda atau identitas bahwa orang yang mengenakan noken tersebut pasti berasal dari Papua atau kemungkinan lain dia pernah tinggal dan pernah berkunjung ke Papua. Hal ini yang kemudia saya perlu banggakan bahwa noken menjadi identitas. Noken telah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya yang perlu dipertahankan dan dikembangkan. Hari Anda dan saya sama-sama menyukai noken, apakah noken yang terbuat dari daun-daun rawa, kulit pohon, daun sagu, atau terbuat dari benang itu adalah bagian dari identitas. Na, identitas itu masih akankah dilestarikan? Tumbuh-tumbuhan yang menjadi bagian dari proses desain noken sudah menjadi agenda pemertahanan, konservasi, dan sebagai sumber penghasilan bagi kaum perempuan Papua? Mari kita sama-sama memikirkan hal itu, konsep pembangun hari ini jangan diarahkan pada konsep pembangunan fisik, marilah kita bersama-sama memikirkan sistem ekologisasi guna mempertahankan tumbuh-tumbuhan, hewan dan bahkan hutan-hutan yang menjadi bagian dari proses pemberian nafkah bagi kaum perempuan atau dalam konsep umum bagi masyarakat Papua. Produk/karya para perajin noken pun sering dianggap kalah bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh perajin industri kreatif lainnya. Pengakuan keunikan dan kearifan lokal noken Papua sebagai warisan budaya takbenda oleh UNESCO pada 4 Desember 2012 memberi harapan bagi pertumbuhan ekonomi kreatif dan peluang perkembangan industri kreatif kebahasaan (Warami, )[3]
Anda cinta perempuan papua? Jika ya, maka marilah mengubah paradigma berpikir, banyak persoalan yang ada dalam kehidupan perempuan Papua, persoalan kita adalah dari makan kita harus memulai proses pemertahanan nilai-nilai kehidupan yang tergambar dan terselip dalam bentuk artefak dan dalam sastra lisan. Dalam perspektif gender, noken dan perempuan Papua merupakan dua sisi yang berbeda dan saling melengkapi pada situasi dan kondisi tertentu. Fenomena noken dan perempuan Papua muncul dalam banyak hal, misalnya ketidaksetaraan dalam kehidupan sosial, politik, dan kehidupan keseharian, pembagian hak dan kewajiban, ketidaksetaraan baik eksplisit maupun implisit dalam pengambilan keputusan yang menentukan perbedaan pelaksanaan baik dalam hukum, pasar kerja, praktik pendidikan, dan sebagainya). Selain itu, ketidaksetaraan dalam representasi budaya, yakni kaum perempuan dianggap sebagai kelompok bawah, stereotip, kodrat, anggapan lemah, dan keterikatan biologis.[4]
Makna Noken
Elisabeth Lenny Marit, memaknai noken disepadankan dengan kantong atau plastik yang digunakan untuk berbagai keperluan. Warami, 2014, Tradisi noken dalam rakyat Papua mengkonstruksikan simbol-simbol yang mengandung makna-makna filosofis demokrasi. Warawi memaknai noken Papua merupakan suatu produk yang lahir dari kemahiran alami secara langsung menciptakan daya kreasi (kreatifitas) perajin noken, baik perajin individu dan atau komunitasnya. Industri kreatif tidak terlepas dari makna bahasa yang terkandung dalam produk yang dihasilkan melalui daya kreasi. Selanjutnya dipertegas juga bahwa noken Papua sebagai simbol yang bermakna atas harga diri, persahabatan dan keakraban yang mempersatukan rakyat Papua. Pekey (2011) bahwa noken sudah menyatu dengan masyarakat Papua dalam waktu yang lama. Jadi kita sama-sama sepakat bahwa noken adalah identitas diri bagi orang Papua. Tidak hanya sebagai sebuah kreasi tetapi di balik kreasi tersebut terkandung nilai-nilai kultur bagi orang Papua.
Gender
Kehidupan kita tidak dapat dilepaskan dari persoalan gender. Manusia diciptakan berpasangan dan memiliki harkat dan martabat yang sama dalam pandangan agama untuk hidup berdampingan saling melengkapi. Kemudian dalam kehidupan sosial kita nilai-nilai keagamaan diabaikan kita terikat dengan aturan adat yang kemudian mengesampingkan perempuan di bawah posisi laki-laki. Memang benar bahwa kehidupan kita tidak dapat dilepas dari adat tetapi tidak semua hal yang harus kita terapkan dalam kehidupan globalisasi, sehingga saya berharap marilah kita memposisikan perempuan sebagai selevel dengan laki-laki. Jangan lagi ada diskriminasi bagi perempuan. Mereka ada karena kita, atau sebaliknya kita ada karena mereka. Kehidupan kekeluargaan kita dijadikan kasta-kasta “ibarat suami sebagai raja, istri sebagai pembantu”. Marilah kita sama-sama mengubah paradigma bahwa aturan budaya boleh mengatur bahwa perempuan tetap pada posisi di bawah, tetapi pertanyaan saya di era disrupsi ini apakah perempuan Papua tetap adalah dalam masa-masa penjajahan kaum laki-laki, yang kemudian menjadikan perempuan sebagai pihak yang mengurus segala sesuatu dalam kehidupan keluarga, mungkin saja hal inilah yang kemudian membuat perempuan Papua tidak berkembang dalam bidang pendidikan, politik, dan berbagai bidang yang terus didominasi oleh kaum laki-laki. Kata “gender” dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggung jawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Di Papua pengrajin noken adalah kaum perempuan dewasa sebagaimana tradisi dan budaya di Papua. Perempuan yang melakukan aktivitas menganyam/merajut sekaligus menjual. Seluruh aktivitas perempuan dalam rangka menghasilkan noken dilakukannya sebagai selingan dalam siklus hidupnya sehari. Sejumlah fakta, bahwa perempuan mampu menganyam/merajut noken sambil menyusui anaknya, perempuan mampu menimang anaknya dalam sebuah noken sambil berjualan, perempuan mampu menganyam/merajut noken sambil menjaga barang dagangan (jualan), perempuan mampu menjual noken bersamaan dengan menjual hasil kebunnya. Seluruh aktivitas perempuan dalam kaitannya dengan noken senantiasa dilakukan tanpa meninggalkan tanggung jawab domestik seperti; memasak, mengasuh anak dan memastikan anggota keluarga dalam kondisi sehat. Betapa berat pekerjaan kaum perempuan. marilah kita berjuang bersama menyuarakan bahwa perempuan Papua adalah sosok-sosok pejuang kehidupan bagi generasi Papua.
Fakta-fakta menunjukkan bahwa peran gender bagi perempuan dalam hubungannya dengan noken adalah perempuan mampu melakukan perannya baik itu peran reproduktif (domestik), peran produktif (publik) dan peran sosial (kemasyarakatan). Tradisi noken dalam masyarakat Papua salah satunya sebagai simbol perlindungan, dimana noken dalam fungsinya sebagai alat/kantung untuk menggendong/ menimang bayi sambil melakukan aktivitas lainnya. Dengan maksud, agar bayinya terlindungi saat perempuan (ibu) melakukan aktivitas lainnya. Noken digunakan perempuan, mampu menggendong/ menimang bayinya di bagian depan dan mengangkat hasil kebunnya di bagian belakang atau samping. Sehingga, perempuan tampak berada dalam dunia maskulin mirip seperti laki-laki yang berusaha mengangkat beban pada tubuhnya yang kekar (secara fisik).
Ideologi Sosiopila Ideologi yang cenderung menjadikan orang memiliki rasa solidaritas sosial dan rasa kecintaan sosial dalam keluarga yang tinggi. Dalam perspektif ideologi sosio pilia, anyaman dan rajutan noken berhubungan erat dengan latar belakang sosial budaya pengrajin noken. Hubungan kekerabatan orang Papua pengguna noken cenderung kuat dan menumbuhkan identitas bagi pengguna noken. Rasa identitas dalam ikatan keluarga ini antara lain muncul identitas kesukuan beserta kebudayaannya sehingga hubungan kekeluargaan yang kuat menumbuhkan rasa kebudayaan kesukuannya.
Ideologi Ekofeminis Ideologi yang cenderung melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya (Megawangi, 1999). Ideologi ini menganut prinsip kesetaraan, kesadaran gender, ekologi, dan etnisitas sebagai kesatuan yang erat dan mempunyai dasar (bd.Suka, 2012:). Di mana, ketika perempuan masuk dalam dunia maskulin yang tadinya didominasi laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan kualitas feminimnya, tetapi justru menjadi tiruan laki-laki dan masuk dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkis. Akibatnya, yang terlihat adalah kompetisi, self centered, dominasi, dan eksploitasi. Dalam perspektif ideologi ekofeminis, Noken sangat melekat dengan berbagai aktivitas perempuan, ada konstruksi sosial kultural yang terbangun dalam masyarakat tentang kemampuan perempuan menciptakan kreasi (daya cipta) merajut/ menganyam noken karena umumnya perempuan yang melakukan aktifitas merajut/menganyam noken. Pada hakekatnya noken dapat dihasilkan dengan kemampuan kreativitas (daya cipta) yang dimiliki oleh setiap orang tanpa membedakan jenis kelamin. Selanjutnya, noken sebagai alat sejenis tas yang sangat membantu perempuan melakukan peran produktif (publik) yakni melakukan usaha berjualan di pasar, noken digunakan untuk memuat hasil kebun yang akan dijual sekaligus noken digunakan untuk menggendong bayi. Hal ini melahirkan pandangan bahwa perempuan mampu berkompetisi dan tidak perlukan bantuan laki-laki untuk melakukan peran produktifnya (publik).
Ideologi ekosentrisme yang cenderung bermoral lingkungan dengan implementasi bercorak kepentingan kesejahteraan manusia; mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan bersama dalam ekosistem (bd.Suka, 2012). Dalam perspektif ideologi ekosentrisme mencakup (1) noken tradisional memiliki nilai budaya yang lebih tinggi bagi orang Papua sebagai simbol ciri khas Papua, sebagai alat tukar menukar sebagai simbol dalam pembayaran mas kawin (mahar); (2) bahan baku noken tradisional memaksimalkan potensi Sumber Daya Hutan (SDH) Papua yang terbarukan untuk menghasilkan noken tradisional, misalnya pemanfaatan kulit kayu, serta jenis tanaman lain yang tumbuh di hutan. Khusus untuk bahan baku daun anggrek seiring waktu semakin jarang ditemui sebagai bahan baku noken oleh karena memperhatikan aspek ekologi terhadap ekosistem tanaman tersebut. Itlay (2016) menerangkan bahwa, harga noken tradisional jauh lebih tinggi dibandingkan harga noken modern. Ada pandangan tentang noken tradisional yang lebih menunjukkan ciri khas asli Papua, yang memuat nilai budaya yang tinggi sehingga dihargai nilai ekonomi noken dalam bentuk harga noken tradisional yang lebih tinggi dibandingkan noken modern.
Fakih (1999).[5] gender lebih mengarah kepada pensifatan yang melekat pada laki – laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Dari siklus lahir, hidup, dan mati dari perempuan Papua selalu menyatu dengan Noken Papua. Keberadaan Noken Papua menjadi penanda identitas perempuan Papua untuk dihargai sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia yang berjenis kelamin perempuan dan sebagai makhluk Tuhan. Unsur gender melek dalam wajah tau desai noken. Noken memiliki filosofis feminis kaum perempuan papua. Noken menjadi simbol mas kawin perempuan Papua serta mengabaikan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan politik perempuan Papua[6].
Mari kita sama-sama melestarikan noken sebagai identitas dan sebagai wujud dari kaum perempuan Papua. Perempuan Papua adalah sosok pejuang kehidupan maka berikanlah peluang untuk Perempuan Papua tumbuh dan berkembang sama seperti kaum laki-laki. Berikan kebebasan mereka untuk mengembangkan talenta-talenta yang Tuhan berikan kepada mereka. Jangan lagi ada diskriminasi terhadap kaum perempuan Papua. Mereka ada karena kita dan sebaliknya kita ada kerana mereka.
Penulis Adalah Pendidik Dan Sekaligus Pemerhati Pendidikan Tanah Papua, Tinggal di Merauke
Refrensi:
[1] Elisabeth Lenny Marit, 2016. Artikel ilmiah: Noken dan perempuan Papua (Analisis Gender dan idiologi)
[2] Kurnia, 2014. Artikel Jurnal. Representasi Maskulinitas dalam Iklan.
[3] file:///D:/NOKEN/dokumen_makalah_1540518871%20(1).pdf
[4] Elisabeth Lenny Marit, 2016. Artikel ilmiah: Noken dan perempuan Papua (Analisis Gender dan idiologi)
[5] Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[6] Elisabeth Lenny Marit, MELANESIA: Jurnal Ilmiah Kajian Sastra dan Bahasa Volume 01, Nomor 01, Agustus 2016
0 Response to "NOKEN DAN PEREMPUAN PAPUA"
Post a Comment